Bank Indonesia (BI) terus melakukan injeksi likuiditas atau quantitative easing di perbankan di 2021 ini. Total dana injeksi mencapai Rp 97,34 triliun pada semester pertama dan Rp 21 triliun hingga 31 Agustus 2021, di semester kedua.
“Dengan demikian, injeksi likuiditas oleh BI melalui perbankan pada 2021 telah capai 118,35 triliun,” kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam rapat kerja bersama Komisi Keuangan DPR di Jakarta, Selasa, 14 September 2021.
Sementara pada 2020, suntikan likuiditas BI mencapai Rp 726,57 triliun. Sehingga secara total sejak 2020, BI telah melakukan injeksi likuiditas sebesar Rp 845 triliun atau setara 5,3 persen PDB.
Menurut Destry, kebijakan ekspansi moneter ini telah membuat kondisi likuiditas perbakan hingga Juli 2021 sangat longgar. Ini terlihat dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tinggi yaitu 32,51 persen.
Lalu, pertumbuhan DPK sebesar 10,43 persen (yoy). Tak hanya itu, Destry juga menyebut ekspansi moneter ini juga menyebabkan likuiditas perekonomian meningkat.
Kondisi ini tercermin pada jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) dan luas (M2). Masing-masing tumbuh 14,9 persen (yoy) dan 8,9 persen (yoy) pada Juli 2021.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo juga telah beberapa kali menyinggung soal kebijakan injeksi likuiditas ini. Perry telah memberi sinyal bahwa injeksi likudiitas pada tahun 2022 baka terus berkurang.
“Kami yakin pengurangan injeksi likuiditas pada tahun depan tidak akan mengurangi pertumbuhan ekonomi dan penyaluran kredit,” ujarnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi keuangan DPR, Senin 30 Agustus 2021.
Kendati demikian, Perry Warjiyo memastikan kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar, dan inklusi keuangan pada tahun 2022 akan tetap diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi.